Fenomena KDRT, Stop Ambil PR dalam Pernikahan!
“Jangan berikan PR pada masa depan pernikahanmu.”
Ini adalah kalimat yang tempo hari dikatakan teman liqo saya. Meskipun sang teman kini tak lagi membersamai kami karena sudah pindah kelompok, kalimat itu masih tetap melekat dalam ingatan.
Bagi seorang yang masih membutuhkan banyak nasihat tentang pemilihan calon imam yang tepat, ucapan singkat sarat makna seperti ini sangat berarti. PR yang dimaksud tentu saja banyak hal.
Sang teman juga mengatakan poin-poin secara gamblang. Tentu saja setelah sedikit saya “desak” Hahaha. Maklum, bicara tentang latar belakang sebelum menikah bisa jadi membuat sang teman tersipu malu karena harus mengenang masa-masa deg-deg an itu.
Membina Rumah Tangga, Menuju Surga Bersama
Dalam beberapa postingan di akun sosial media para ulama, konten islami dan ceramah yang didapat secara langsung, membina rumah tangga selalu dikatakan bukan tentang perihal dunia saja, tetapi juga akhirat.
Maka hendaklah memilih istri yang beragama (Islam) dan berbudi pekerti (yang baik) agar kedua tanganmu (dirimu) selamat. (H.R. Imam Ahmad)
Jika hadis di atas ditujukan untuk istri, bagi seorang wanita, bisa pula ditujukan bagi calon suami, ya. Pertama, Islam. Kedua, berbudi pekerti (yang baik). Jika kedua hal tersebut terpenuhi, selamatlah keluarga tersebut di dunia dan akhirat.
Fenomena KDRT, Apakah Dampak Abai Pada PR?
Sebelum pernikahan, ada masa pengenalan. Dalam hal ini yang saya maksud adalah taaruf. Pengenalan sesuai ajaran agama. Di mana dalam proses ini tidak hanya melibatkan dua orang yang sedang berproses, tetapi ada campur tangan orang tua, guru, tetangga, dan sanak saudara kedua belah pihak.
Jika mengutip dari ucapan salah seorang capres dalam debat perdana capres beberapa saat yang lalu tentang ordal (orang dalam). Nah, dalam proses taaruf ini kita pun butuh yang namanya orang dalam. Peran orang dalam ini kita butuhkan untuk mengulik kepribadian calon pasangan.
Taaruf bukan beli kucing dalam karung jika tahap yang dilakukan tepat. Perlahan tetapi pasti karena masa taaruf bukan suatu proses tanpa kepastian. Proses ini bisa mendekatkan pada kebaikan dan menghindari keburukan.
Masyaallah, bila calon pasangan ini bisa memahami indahnya ta'aruf seperti yang sudah-sudah terjadi, begitu manis, begitu berkesan, hingga membuat orang sekitar yang menyaksikan pun senyum-senyum simpul sendiri.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi berita tak pernah absen dari media. Dampaknya tak hanya antara kedua belah pihak (suami dan istri) bahkan anak. Saat melihat tayangan televisi hari ini, lagi-lagi dihadapkan pada kasus seorang ayah yang tega membanting anaknya. Lalu, kembali ke penyataan lama, sang ayah akan diperiksa status kesehatan mentalnya.
Kesehatan mental ini bukan PR yang harus diselesaikan ketika pernikahan telah terjadi. Hal ini bisa diperiksa sebelumnya. Jadi, jika selama ini kita masih terpapar informasi tes kesehatan fisik sebelum menikah, ternyata kesehatan mental tak boleh pula diabaikan.
Dikutip dari Halodoc, untuk mengetahui kesehatan mental calon pasangan tidak harus to do point. Kita dapat menciptakan “pintu” yang menuju pembahasan lebih jauh, misalnya:
- Cara mengelola stres
- Cara menyelesaikan masalah
- Manajemen keuangan
Jawaban tiga poin sederhana ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Oh, ya, tiga pertanyaan tentang kesehatan mental di atas juga termasuk poin pertanyaan dalam masa taaruf.
Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi menjadi selangkah lebih dekat dengan kesempurnaan tersebut sepertinya bukan hal yang tidak mungkin, kan?
Siap untuk menuntaskan PR sebelum pernikahan? Harus siap karena PR itu bisa jadi lebih banyak dan lebih besar, lebih-lebih jika KDRT terjadi di dalamnya. Menikah untuk beribadah menuju jannah, kan? Dalam pengasuhan pun kita perlu bekerja sama, misalnya dalam Mengatur Waktu Screen Time Anak dalam Era Digital.
Bagaimana pendapat Sobat Syl terkait pembahasan kali ini? Yuk, berbagi di kolom komentar! (*)