Melangitkan Doa, Melesatkan Usaha, Demi Senyum Mereka

“Ma, itu Papa!” seru saya saat melihat sosoknya berjalan mendekati kami.

“Ya, memang Papa berjanji akan datang hari ini,” sahut Mama sambil meminggirkan tas besar kami.

Saya segera mendekat. Tak saya sangka Papa akan datang. Terakhir sebelum kami berangkat, beliau sedang dalam keadaan kurang sehat.

“Pa, pasukan pengamanan presiden namanya Cakrabirawa, ya?” tanya saya sesaat beliau duduk di samping kami.

“Hah! Itu kan ada di zaman PKI!” Mama menyambut ucapan saya dan Papa jadi ikut tertawa.

Saya pun jadi lucu sendiri. Saat itu saya masih memakai atasan kemeja putih dan rok hitam. Di hadapan kami ada spanduk bertuliskan Selamat Datang Para Peserta Seleksi CPNS 2014.

Papa memang begitu. Dulu saat seleksi pertama CPNS, beliaulah yang berlelah-lelah menyiapkan berkas, mengirimkan, hingga melihat pengumuman. Saat itu rezeki belum berpihak kepada keluarga kami. Pada dua kali seleksi yang saya lalui, kemenangan masih menyentuh kata nyaris.

Nyaris menang di dua poin! Sedih pasti ada, tapi nggak boleh berlarut. Selagi masih cukup umur untuk ikut lagi pada tes berikutnya. Waktu itu belum ada seleksi PPPK, jadi maksimal usia 35 tahun masih menjadi patokan.

Mencoba Lagi Pada Tahun Selanjutnya


2018 menjadi tahun penuh keberkahan untuk seleksi CPNS. Akhir tahun itu keluarga kami mendapatkan kabar manis bahwa kelulusan ada pada nama saya. Kami sangat bersyukur meski Papa sudah tak membersamai.

Dulu Papa memang sangat ingin anaknya tak jauh darinya. Benar saja, tes terdahulu di kota tetangga hanya dapat nyaris lulus. Dan, saat tes di kota kelahiran Papa, dari 500 pesaing, alhamdulillah saya mendapat peringkat pertama.

Setelah Papa tiada, sebagai anak sulungnya, saya mencoba memberikan yang terbaik semampu saya untuk Mama dan adik-adik. Alhamdulillah, di 2023 ini si Bungsu kami sudah menyelesaikan kuliahnya. Saya juga membuat kas khusus untuk keperluan adik. Sementara bagi Mama, pensiunan dari Papa sudah cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga.

Bagi sulung dari empat bersaudara, hari-hari yang dijalani setelah berpulangnya Papa memang terasa berat. Di usia 25 tahun, seolah pegangan hidup ini tak ada lagi. Namun Allah swt memang tak pernah memberikan sesuatu di luar batas kemampuan seorang hamba.

Tentang Jumlah Tabungan yang Belum Terbilang


“Berapa sekarang tabungan Nia?” tanya Nenek di Ahad siang itu.

Kami memang rutin bertandang ke kediaman beliau setiap Ahad. Saat itu saya hanya bisa tersenyum miris.

Sebelum lulus seleksi CPNS, saya bekerja di sebuah sekolah tinggi, sebagai pengajar dan ibu asrama, tapi jika ditanya tentang jumlah tabungan sungguh itu pertanyaan cukup sulit.

“Nenek nggak mau minta, kok,” sambung Nenek lagi.

Saya kembali tersenyum sambil mengatakan, “belum ada, Nek.”

Setelahnya Nenek akan berceramah cukup panjang tentang bagaimana seseorang harus bisa mengelola keuangan terlebih di masa sekarang. Kebutuhan akan terus meningkat, ada pula hal-hal tak terduga yang bisa saja terjadi dalam keluarga, menabunglah sedikit demi sedikit.

Bertahun Kemudian Kedua Harapan Terjawab Meski Sepi


cara menyampaikan kasih sayang

Asa Papa dan Nenek kini telah menjadi nyata meski saya tak bisa lagi mengatakan secara langsung pada keduanya. Saya yakin pada satu tempat terindah, mereka bisa menyaksikan rekam jejak sang pemimpi yang tak henti berjuang demi meraih berbagai impian. Seperti laman tentang saya dalam blog ini masih ada impian sarjana kedua yang menjadi target capaian selanjutnya.

Alfatihah untuk keduanya. Insyaallah kasih sayang kami selalu tertuju bagi mereka.

Apakah sahabat punya cara menyampaikan kasih sayang pada orang yang telah tiada? Yuk, lanjut baca ke Bicara Soal Palestina, Kiprah Tenaga Medis yang Istimewa, ya! (*)
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url